KISAH PERJALANAN ISTRI PRAJURIT
Menjadi istri prajurit?, sebelumnya
tidak pernah terbayangkan olehku, namun Allah SWT telah mempertemukan
aku dengan pujaan hatiku Letda Art Hari Arif Wibowo yang mempunyai
status sebagai prajurit TNI AD. Setelah menikah kami menjalani hidup di
asrama Batalyon Arhanudri-3 Dam III/Slw, tempat tugas suamiku selama
ini. Pada saat itu belum tampak kesulitan yang menghadang didepan mata,
karena disposisi Batalyon tersebut berada di kota Bandung, sehingga
banyak kemudahan yang dapat diakses.
Setelah melaksanakan tugas
pendidikan Selapa Arhanud pada akhir tahun 2000, suamiku memberitahu,
bahwa kami akan pindah satuan ke wilayah Kodam XVII/Trikora. Saat itu
seakan tidak percaya bahwa kami akan pindah ke tempat nun jauh di ujung
timur Indonesia. Namun sayangnya kepindahan kami ke Irja dianggap oleh
beberapa orang bahwa kami “dibuang”. Tapi kami tidak merasa demikian
karena dalam pendidikan Selapa suami saya masuk 10 besar dan kami tidak
pernah mempunyai masalah dalam kedinasan maupun keluarga, sehingga
omongan orang kami anggap angin lalu saja, kami menganggap tugas ke
Irian Jaya adalah sesuatu yang wajar karena kami telah lama berada di
Jawa, suami saya berkata bahwa tugas kemanapun adalah kehormatan, “Siapa
lagi yang akan ke Irja, kalau setiap prajurit menolak diberangkatkan
untuk menjadi organik disana” begitu suami selalu mengingatkan agar
tidak terbawa kata orang bahwa kami “dibuang” ke Irja . Sebagai istri
prajurit yang telah mengucap janji setia kepada suami, maka dengan
kerelaan hati saya mengikuti suamiku berangkat ke Irian Jaya (saat ini
Papua). Namun karena kami belum mengetahui kondisi daerah yang akan kami
tuju, maka dua orang buah hati kami terpaksa kami tinggalkan di
Semarang untuk sementara waktu. Yang terasa cukup memberatkan adalah
kami harus meminjam uang untuk berangkat ketempat tugas yang baru, namun
tugas adalah prioritas, dan kami berfikir tentunya Negara tidak akan
melupakan prajurit yang berangkat tugas kemanapun tujuannya. Syukurlah
tidak berapa lama Negara mengganti biaya perjalan dinas kami melalui BPD
pindah satuan.
Perjalanan pindah kami ke Papua kami lalui dengan
menumpang KM Ciremai, yang biasa disebut dengan kapal putih, rasa takut
menghantuiku karena cuaca yang sangat buruk menyebabkan aku berfikiran
yang tidak-tidak, aku teringat tentang KM Tampomas II yang karam di Laut
Masalembo, padahal kami juga melewati daerah itu dalam cuaca yang
sangat buruk, Tuhan selamatkanlah kami semua. Belum selesai masalah
cuaca, ditambah lagi dengan masalah baru, sesampainya kami di Kendari
ternyata kapal kami dibajak oleh Laskar Pejuang Islam yang akan masuk ke
Ambon. “Pengumuman, kapal ini dalam kekuasaan Mujahid pejuang Islam’
semua penumpang dilarang berkeliaran, kapal ini tetap kami kuasai sampai
kami tiba di Ambon” demikian pengumuman dari “pembajak”, suasana sangat
mencekam, selama lebih kurang 1 hari kami terkurung di kelas ekonomi
yang dikunci oleh “pembajak”, ternyata semua crew kapal seluruhnya telah
meninggalkan kapal, karena tidak mau berlayar bila ada penumpang yang
mengganggu keamanan kapal dan penumpang . Namun setelah negosiasi dengan
aparat keamanan dan Pemda Kendari, kapal dapat berlayar kembali, dengan
tambahan penumpang para “pembajak” tadi, sehingga rasa was-was selalu
menghantuiku. Yang lucunya sesampainya di Ambon, “pembajak” yang tadinya
garang ternyata begitu turun di pelabuhan langsung ditangkap Prajurit
TNI yang bertugas di Ambon, mereka turun dari kapal dengan berjalan
jongkok, Alhamdulillah kami semua selamat.
Sampai di tempat yang
kami tuju yaitu Pulau Biak yang berada di Teluk Cendrawasih, saya
semakin takut karena tiba pada dinihari, namun syukurlah kami dijemput
kendaraan Korem 173/PVB selanjutnya menginap dirumah teman, baru esoknya
kami ditempatkan di perumahan Korem, rumah dinas tersebut sangat besar
dan kami hanya berdua saja dengan barang seadanya. Sehingga praktis kami
hanya menggunakan satu kamar saja. Suami saya mendapat tugas sebagai
Pasibinkamwil Korem 173/PVB, sehingga suami perlu “belajar” ekstra untuk
mengenal tugasnya yang baru, maklum selama ini suami saya tidak pernah
bertugas di Teritorial. Setiap suami saya lembur di kantor, saya pasti
diajak atau dititipkan dikenalan, karena suami saya khawatir
dengan keselamatan saya, mengingat situasi disekitar kami tidak terlalu
kondusif, terutama bila malam hari. Bercerita tentang kemanan, saya
teringat kejadian lucu, pada saat itu saya dan suami sedang
berjalan-jalan dipinggiran kota dengan naik sepeda motor dinas pada sore
hari, kami terkejut karena banyaknya warga yang membangun “pos”
dibeberapa tempat strategis, suami saya memutuskan untuk kembali, karena
berfikiran akan ada hal-hal yang tidak baik, mengingat beberapa waktu
yang lalu kota Biak “dipalang”/ditutup masyarakat dengan membawa senjata
tajam, panah dan tombak karena menuntut Pemda, saat kami berjalan-jalan
adalah pada bulan Desember 2001, sehingga kami berfikir akan ada
perayaan Papua Merdeka, ternyata dugaan kami meleset, setelah bertanya
kepada tetangga kiri kanan, baru kami tahu bahwa pembangunan pos
tersebut adalah untuk menyambut perayaan Natal. Setelah berdinas 3
tahun di Korem suami saya mendapat promosi sebagai Kasdim 1705/PN, Namun
yang kami khawatirkan adalah pada masa kepindahan kami kota Nabire
sedang dilanda Gempa yang hebat, sehingga hari-hari kami lalui dengan
rasa khawatir, namun kehidupan di Kodim yang sangat kekeluargaan
menyebabkan kami semua lebih tenang. Di Nabire dalam satu tahun kami
mengalami gempa sebanyak dua kali yaitu diawal kepindahan dan diakhir
tahun, gempa terakhir ini hampir merenggut hidupku dan anak-anakku. Kami
bangga walapun prajurit TNI dan keluarganya juga terkena bencana alam,
namun prajurit TNI selalu berada didepan untuk terlibat langsung
membantu masyarakat luas pada hari pertama terjadinya bencana sampai
pulihnya keadaan secara keseluruhan.
Peristiwa gempa Nabire yang
kedua membawa kenangan lain, karena dalam kondisi yang mencekam, karena
setiap hari selalu terjadi gempa susulan, mendadak kami menerima berita
bahwa Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono dan
beberapa Menteri akan berkunjung dan menginap di Nabire selama 3 hari,
maka terjadi kesibukan luar biasa dalam keadaan yang seadanya, suami dan
para prajurit lain menyiapkan rencana pengamanan bapak RI-1, sedangkan
ibu-ibu persit, Bhayangkari dan Dharma Wanita terlibat membantu digaris
belakang, agar kunjungan tersebut sukses secara keseluruhan, tak urung
membuat kami juga terlibat kesibukan, karena banyaknya tamu yang datang
sebelum hari “H” kunjungan dan terutama pada hari kunjungan, namun kami
bekerja dengan gembira karena Bapak Presiden berkenan melihat kami yang
sedang kesusahan. Ada satu keadaan yang membanggakan, kami anggota
Persit diberikan waktu untuk mendapat pengarahan dari Ibu Negara di
kelas Lapangan Yonif 753/AVT, pada saat sedang menerima pengarahan
rombongan Presiden melewati tempat pengarahan untuk menuju lokasi tenda,
tempat menginap Presiden, ibu-ibu Persit spontan meminta ibu Ani
Yudhoyono untuk meminta Presiden berkenan bertatap muka dengan Persit,
tak dinyana ternyata pucuk dicita ulampun tiba, Presiden berhenti dan
masuk ke kelas lapangan beserta seluruh Menteri, selanjutnya kami
mendapat arahan untuk selalu sabar menghadapi cobaan ini, Esoknya
setelah Presiden menerima wawancara TV, kami semua mendengar pengumuman
bahwa kunjungan Presiden ke Papua dipersingkat, karena adanya kejadian
gempa yang lebih besar di Aceh yang disertai Tsunami, Maha besar Allah,
Nabire tidak mengalami gempa dan tsunami sebesar Aceh. Setelah itu kami
diberi kesempatan untuk berfoto bersama, ehm, ini hal yang langka untuk
kami lewatkan begitu saja.
Pada awal tinggal di Asrama Kodim ada hal
yang membuat saya dan anak – anak khawatir, karena disekitar tempat
tinggal kami pada setiap malam selalu terdengar suara kode yang
bersahut-sahutan yang sangat keras, dalam bahasa daerah setempat, tapi
lama kelamaan suara tersebut selalu menemani kami dalam tidur malam,
rasanya seperti dininabobokkan. Suasana yang juga mencekam setelah
gempa adalah selalu padamnya lampu di kota Nabire, setiap terjadi lampu
padam suami dan anggota Kodim langsung bersiaga di Makodim mengingat
belum lama berselang gudang senjata Kodim Wamena dibobol OPM, sehingga
jatuh korban, maka atas perintah Dandim kewaspadaan satuan harus
ditingkatkan. Bukan hanya prajurit, para istripun tidak tidur khawatir
bila terjadi sesuatu yang buruk, setelah suami kembali dan lampu menyala
kembali, barulah tenang rasanya hati ini.
Selain itu ada kejadian
dimana terjadi bentrok antara anggota Brimob BKO sebagai Satgas Tindak
illegal logging dengan anggota Batalyon 753/AVT, diawali dengan kejadian
penembakan Brimob kepada anggota TNI pada saat antri BBM, yang meluas
menjadi perselisihan antara TNI dengan Polri. Pada saat itu Dandim
sedang dinas luar, sehingga suami saya menjadi yang tertua di Kodim.
Pada saat itu beberapa anggota TNI disweeping oleh anggota Polri yang
tidak berseragam, kebetulan esoknya akan ada kunjungan kerja Danrem
173/PVB, maka suami saya bertindak cepat untuk menghentikan pertikaian,
namun rupanya karena kedua pihak masing-masing bersikeras maka
penyelesaian menjadi sulitdan berlanjut dengan terjadinya saling “ciduk”
antar anggota TNI dan Polri yang kebetulan berada pada tempat dan waktu
yang salah. Dalam rangka menyambut kunjungan Danrem kami anggota Persit
berniat berbelanja keperluan kunjungan Danrem, namun sesaat setelah
kami berangkat suami menelpon saya untuk kembali karena situasi tidak
aman, kami langsung “ngacir pulang” dari pada terjadi sesuatu yang tidak
baik, anak-anakpun kami larang masuk sekolah. Dengan mengandalkan
hubungan yang baik selama ini dengan Polres Nabire, maka suami saya
mengintensifkan upaya damai kedua pihak, dalam beberapa malam suami saya
tidak kembali kerumah dan berpesan untuk seluruh keluarga prajurit di
asrama tidak keluar rumah, Ibu Ketua Koorcab dan Wakil Ketua Koorcab Rem
173/PVB selalu mengingatkan kami untuk waspada, serta kami disuruh
tiarap di dalam kamar bila terjadi tembak menembak, namun syukurlah hal
tersebut tidak sampai terjadi di asrama kami. Setelah kejadian berlalu
lama baru saya tahu bahwa kejadian di luar cukup gawat. Suami saya
sebagai yang tertua di satuan kewilayahan saat itu, mengedepankan
dialog yang intensif dengan pihak yang bertikai dan didukung oleh
petunjuk-petunjuk Bapak Danrem 173/PVB, setelah melalui upaya paksa
“mengeluarkan” Satuan Brimob dari Nabire, maka situasi
berangsur-angsur pulih, momentum itu dijadikan modal untuk segera
mengembalikan situasi agar lebih kondusif, sehingga diadakan apel dan
kegiatan bersama antara TNI-Polri, syukurlah prakarsa tersebut menjadi
titik balik kejadian “permusuhan” yang baru saja terjadi dan tidak
meluas, seperti pada kejadian yang serupa ditempat lain.
Beberapa
kejadian tersebut, serta cerita lain di Papua yang tidak akan pernah
kami lupakan memberikan pengalaman berharga yang tidak terkira, dimana
loyalitas dan keikhlasan sebagai istri prajurit dalam mendukung tugas
suami dimanapun berada akan memberikan hal terbaik. Setelah suami
mengikuti Seskoad pada tahun 2007, tanpa terasa lebih kurang enam tahun
suami bertugas di Papua, kami semua dilepas dengan segala kenangan yang
membekas dihati. Terima kasih ya Allah, bimbinglah kami selalu dalam
menjalankan tugas dan dalam mengarungi kehidupan ini, Amien.
Ny. Hari Arif Wibowo
Kamis, 13 Juni 2013
Langganan:
Postingan (Atom)