Selasa, 16 Juni 2009

KISAH PERJALANAN ISTRI PRAJURIT
Menjadi istri prajurit?, sebelumnya tidak pernah terbayangkan olehku, namun Allah SWT telah mempertemukan aku dengan pujaan hatiku Letda Art Hari Arif Wibowo yang mempunyai status sebagai prajurit TNI AD. Setelah menikah kami menjalani hidup di asrama Batalyon Arhanudri-3 Dam III/Slw, tempat tugas suamiku selama ini. Pada saat itu belum tampak kesulitan yang menghadang didepan mata, karena disposisi Batalyon tersebut berada di kota Bandung, sehingga banyak kemudahan yang dapat diakses.

Setelah melaksanakan tugas pendidikan Selapa Arhanud pada akhir tahun 2000, suamiku memberitahu, bahwa kami akan pindah satuan ke wilayah Kodam XVII/Trikora. Saat itu seakan tidak percaya bahwa kami akan pindah ke tempat nun jauh di ujung timur Indonesia. Namun sayangnya kepindahan kami ke Irja dianggap oleh beberapa orang bahwa kami “dibuang”. Tapi kami tidak merasa demikian karena dalam pendidikan Selapa suami saya masuk 10 besar dan kami tidak pernah mempunyai masalah dalam kedinasan maupun keluarga, sehingga omongan orang kami anggap angin lalu saja, kami menganggap tugas ke Irian Jaya adalah sesuatu yang wajar karena kami telah lama berada di Jawa, suami saya berkata bahwa tugas kemanapun adalah kehormatan, “Siapa lagi yang akan ke Irja, kalau setiap prajurit menolak diberangkatkan untuk menjadi organik disana” begitu suami selalu mengingatkan agar tidak terbawa kata orang bahwa kami “dibuang” ke Irja . Sebagai istri prajurit yang telah mengucap janji setia kepada suami, maka dengan kerelaan hati saya mengikuti suamiku berangkat ke Irian Jaya (saat ini Papua). Namun karena kami belum mengetahui kondisi daerah yang akan kami tuju, maka dua orang buah hati kami terpaksa kami tinggalkan di Semarang untuk sementara waktu. Yang terasa cukup memberatkan adalah kami harus meminjam uang untuk berangkat ketempat tugas yang baru, namun tugas adalah prioritas, dan kami berfikir tentunya Negara tidak akan melupakan prajurit yang berangkat tugas kemanapun tujuannya. Syukurlah tidak berapa lama Negara mengganti biaya perjalan dinas kami melalui BPD pindah satuan.

Perjalanan pindah kami ke Papua kami lalui dengan menumpang KM Ciremai, yang biasa disebut dengan kapal putih, rasa takut menghantuiku karena cuaca yang sangat buruk menyebabkan aku berfikiran yang tidak-tidak, aku teringat tentang KM Tampomas II yang karam di Laut Masalembo, padahal kami juga melewati daerah itu dalam cuaca yang sangat buruk, Tuhan selamatkanlah kami semua. Belum selesai masalah cuaca, ditambah lagi dengan masalah baru, sesampainya kami di Kendari ternyata kapal kami dibajak oleh Laskar Pejuang Islam yang akan masuk ke Ambon. “Pengumuman, kapal ini dalam kekuasaan Mujahid pejuang Islam’ semua penumpang dilarang berkeliaran, kapal ini tetap kami kuasai sampai kami tiba di Ambon” demikian pengumuman dari “pembajak”, suasana sangat mencekam, selama lebih kurang 1 hari kami terkurung di kelas ekonomi yang dikunci oleh “pembajak”, ternyata semua crew kapal seluruhnya telah meninggalkan kapal, karena tidak mau berlayar bila ada penumpang yang mengganggu keamanan kapal dan penumpang . Namun setelah negosiasi dengan aparat keamanan dan Pemda Kendari, kapal dapat berlayar kembali, dengan tambahan penumpang para “pembajak” tadi, sehingga rasa was-was selalu menghantuiku. Yang lucunya sesampainya di Ambon, “pembajak” yang tadinya garang ternyata begitu turun di pelabuhan langsung ditangkap Prajurit TNI yang bertugas di Ambon, mereka turun dari kapal dengan berjalan jongkok, Alhamdulillah kami semua selamat.

Sampai di tempat yang kami tuju yaitu Pulau Biak yang berada di Teluk Cendrawasih, saya semakin takut karena tiba pada dinihari, namun syukurlah kami dijemput kendaraan Korem 173/PVB selanjutnya menginap dirumah teman, baru esoknya kami ditempatkan di perumahan Korem, rumah dinas tersebut sangat besar dan kami hanya berdua saja dengan barang seadanya. Sehingga praktis kami hanya menggunakan satu kamar saja. Suami saya mendapat tugas sebagai Pasibinkamwil Korem 173/PVB, sehingga suami perlu “belajar” ekstra untuk mengenal tugasnya yang baru, maklum selama ini suami saya tidak pernah bertugas di Teritorial. Setiap suami saya lembur di kantor, saya pasti diajak atau dititipkan dikenalan, karena suami saya khawatir dengan keselamatan saya, mengingat situasi disekitar kami tidak terlalu kondusif, terutama bila malam hari. Bercerita tentang kemanan, saya teringat kejadian lucu, pada saat itu saya dan suami sedang berjalan-jalan dipinggiran kota dengan naik sepeda motor dinas pada sore hari, kami terkejut karena banyaknya warga yang membangun “pos” dibeberapa tempat strategis, suami saya memutuskan untuk kembali, karena berfikiran akan ada hal-hal yang tidak baik, mengingat beberapa waktu yang lalu kota Biak “dipalang”/ditutup masyarakat dengan membawa senjata tajam, panah dan tombak karena menuntut Pemda, saat kami berjalan-jalan adalah pada bulan Desember 2001, sehingga kami berfikir akan ada perayaan Papua Merdeka, ternyata dugaan kami meleset, setelah bertanya kepada tetangga kiri kanan, baru kami tahu bahwa pembangunan pos tersebut adalah untuk menyambut perayaan Natal. Setelah berdinas 3 tahun di Korem suami saya mendapat promosi sebagai Kasdim 1705/PN, Namun yang kami khawatirkan adalah pada masa kepindahan kami kota Nabire sedang dilanda Gempa yang hebat, sehingga hari-hari kami lalui dengan rasa khawatir, namun kehidupan di Kodim yang sangat kekeluargaan menyebabkan kami semua lebih tenang. Di Nabire dalam satu tahun kami mengalami gempa sebanyak dua kali yaitu diawal kepindahan dan diakhir tahun, gempa terakhir ini hampir merenggut hidupku dan anak-anakku. Kami bangga walapun prajurit TNI dan keluarganya juga terkena bencana alam, namun prajurit TNI selalu berada didepan untuk terlibat langsung membantu masyarakat luas pada hari pertama terjadinya bencana sampai pulihnya keadaan secara keseluruhan.

Peristiwa gempa Nabire yang kedua membawa kenangan lain, karena dalam kondisi yang mencekam, karena setiap hari selalu terjadi gempa susulan, mendadak kami menerima berita bahwa Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono dan beberapa Menteri akan berkunjung dan menginap di Nabire selama 3 hari, maka terjadi kesibukan luar biasa dalam keadaan yang seadanya, suami dan para prajurit lain menyiapkan rencana pengamanan bapak RI-1, sedangkan ibu-ibu persit, Bhayangkari dan Dharma Wanita terlibat membantu digaris belakang, agar kunjungan tersebut sukses secara keseluruhan, tak urung membuat kami juga terlibat kesibukan, karena banyaknya tamu yang datang sebelum hari “H” kunjungan dan terutama pada hari kunjungan, namun kami bekerja dengan gembira karena Bapak Presiden berkenan melihat kami yang sedang kesusahan. Ada satu keadaan yang membanggakan, kami anggota Persit diberikan waktu untuk mendapat pengarahan dari Ibu Negara di kelas Lapangan Yonif 753/AVT, pada saat sedang menerima pengarahan rombongan Presiden melewati tempat pengarahan untuk menuju lokasi tenda, tempat menginap Presiden, ibu-ibu Persit spontan meminta ibu Ani Yudhoyono untuk meminta Presiden berkenan bertatap muka dengan Persit, tak dinyana ternyata pucuk dicita ulampun tiba, Presiden berhenti dan masuk ke kelas lapangan beserta seluruh Menteri, selanjutnya kami mendapat arahan untuk selalu sabar menghadapi cobaan ini, Esoknya setelah Presiden menerima wawancara TV, kami semua mendengar pengumuman bahwa kunjungan Presiden ke Papua dipersingkat, karena adanya kejadian gempa yang lebih besar di Aceh yang disertai Tsunami, Maha besar Allah, Nabire tidak mengalami gempa dan tsunami sebesar Aceh. Setelah itu kami diberi kesempatan untuk berfoto bersama, ehm, ini hal yang langka untuk kami lewatkan begitu saja.
Pada awal tinggal di Asrama Kodim ada hal yang membuat saya dan anak – anak khawatir, karena disekitar tempat tinggal kami pada setiap malam selalu terdengar suara kode yang bersahut-sahutan yang sangat keras, dalam bahasa daerah setempat, tapi lama kelamaan suara tersebut selalu menemani kami dalam tidur malam, rasanya seperti dininabobokkan. Suasana yang juga mencekam setelah gempa adalah selalu padamnya lampu di kota Nabire, setiap terjadi lampu padam suami dan anggota Kodim langsung bersiaga di Makodim mengingat belum lama berselang gudang senjata Kodim Wamena dibobol OPM, sehingga jatuh korban, maka atas perintah Dandim kewaspadaan satuan harus ditingkatkan. Bukan hanya prajurit, para istripun tidak tidur khawatir bila terjadi sesuatu yang buruk, setelah suami kembali dan lampu menyala kembali, barulah tenang rasanya hati ini.

Selain itu ada kejadian dimana terjadi bentrok antara anggota Brimob BKO sebagai Satgas Tindak illegal logging dengan anggota Batalyon 753/AVT, diawali dengan kejadian penembakan Brimob kepada anggota TNI pada saat antri BBM, yang meluas menjadi perselisihan antara TNI dengan Polri. Pada saat itu Dandim sedang dinas luar, sehingga suami saya menjadi yang tertua di Kodim. Pada saat itu beberapa anggota TNI disweeping oleh anggota Polri yang tidak berseragam, kebetulan esoknya akan ada kunjungan kerja Danrem 173/PVB, maka suami saya bertindak cepat untuk menghentikan pertikaian, namun rupanya karena kedua pihak masing-masing bersikeras maka penyelesaian menjadi sulitdan berlanjut dengan terjadinya saling “ciduk” antar anggota TNI dan Polri yang kebetulan berada pada tempat dan waktu yang salah. Dalam rangka menyambut kunjungan Danrem kami anggota Persit berniat berbelanja keperluan kunjungan Danrem, namun sesaat setelah kami berangkat suami menelpon saya untuk kembali karena situasi tidak aman, kami langsung “ngacir pulang” dari pada terjadi sesuatu yang tidak baik, anak-anakpun kami larang masuk sekolah. Dengan mengandalkan hubungan yang baik selama ini dengan Polres Nabire, maka suami saya mengintensifkan upaya damai kedua pihak, dalam beberapa malam suami saya tidak kembali kerumah dan berpesan untuk seluruh keluarga prajurit di asrama tidak keluar rumah, Ibu Ketua Koorcab dan Wakil Ketua Koorcab Rem 173/PVB selalu mengingatkan kami untuk waspada, serta kami disuruh tiarap di dalam kamar bila terjadi tembak menembak, namun syukurlah hal tersebut tidak sampai terjadi di asrama kami. Setelah kejadian berlalu lama baru saya tahu bahwa kejadian di luar cukup gawat. Suami saya sebagai yang tertua di satuan kewilayahan saat itu, mengedepankan dialog yang intensif dengan pihak yang bertikai dan didukung oleh petunjuk-petunjuk Bapak Danrem 173/PVB, setelah melalui upaya paksa “mengeluarkan” Satuan Brimob dari Nabire, maka situasi berangsur-angsur pulih, momentum itu dijadikan modal untuk segera mengembalikan situasi agar lebih kondusif, sehingga diadakan apel dan kegiatan bersama antara TNI-Polri, syukurlah prakarsa tersebut menjadi titik balik kejadian “permusuhan” yang baru saja terjadi dan tidak meluas, seperti pada kejadian yang serupa ditempat lain.

Beberapa kejadian tersebut, serta cerita lain di Papua yang tidak akan pernah kami lupakan memberikan pengalaman berharga yang tidak terkira, dimana loyalitas dan keikhlasan sebagai istri prajurit dalam mendukung tugas suami dimanapun berada akan memberikan hal terbaik. Setelah suami mengikuti Seskoad pada tahun 2007, tanpa terasa lebih kurang enam tahun suami bertugas di Papua, kami semua dilepas dengan segala kenangan yang membekas dihati. Terima kasih ya Allah, bimbinglah kami selalu dalam menjalankan tugas dan dalam mengarungi kehidupan ini, Amien.
Ny. Hari Arif Wibowo