Sabtu, 15 Agustus 2009

KISAH SEJATI

SAAT GEMPA MELANDA KOTAKU – NABIRE!

(Kisah sejati, Majalah Dharma Pertiwi Edisi 79, Desember 2006)

Tanggal 26 November 2004, tepat sebulan sebelum Tsunami melanda Bumi Serambi Mekah, NAD Kabupaten Nabire yang terletak di ujung Timur Indonesia, tepatnya di Pulau Papua dilanda gempa tektonik yang kedua dengan kekuatan 8,1 SR dengan pusat gempa berada di darat pada jarak 17 Km di selatan kota Nabire.

Sebenarnya gempa pertama Nabire terjadi pada tanggal 6 Februari 2004, saat gempa pertama terjadi kami masih berada di Pulau Biak. Seminggu kemudian suami saya Mayor Art Hari Arif Wibowo mendapat Sprinlak untuk menjadi Kasdim 1705/PN dan langsung berangkat ke Nabire dengan membawa bantuan Korem 173/PVB. Sebagai istri prajurit saya sadar akan resiko itu, karena gempa susulan yang sama besarnya dengan gempa awal masih terus berlangsung di Nabire. Selang waktu 4 hari kemudian saya dan anak-anak menyusul pindah ke Nabire, yang kami tempuh dalam 1 malam perjalanan dengan kapal laut. Ada perasaan takut dalam diri kami mengingat gempa yang terus berlangsung, tetapi karena rasa tanggung jawab kepada tugas serta untuk mententramkan hati anak-anak maka saya dan suami mencoba untuk lebih tenang di depan mereka. Kami sudah memasrahkan diri pada Yang Maha Kuasa.

Namun dini hari tanggal 26 November 2004, pukul 03.55 Wit, terjadi kembali gempa yang lumayan kuat, sehingga kami semua terjaga dari tidur lelap, beberapa saat kemudian keadaan normal kembali. Kesesokan paginya anak-anak berangkat ke sekolah seperti biasa, sedangkan kami anggota Persit melaksanakan senam untuk menyambut hari ibu. Sekitar pukul 10.30 Wit, ibu Ketua Cabang XX Dim 1705, Ny. Didied Pramudito dan beberapa pengurus lain juga termasuk saya sendiri, pergi berbelanja ke pasar Oyehe untuk membeli seragam sebam ibu-ibu Persit. Selesai berbelanja rencananya kami akan menuju Swalayan Alta di kota Nabire, namun ternyata Tuhan berkehandak lain. Masya Allah dalam sekedip mata bangunan bertingkat tiga didepan mata kami runtuh, sehingga kami terbanting, untunglah kami belum sempat masuk ke dalamnya, tenyata gempa kembali melanda kota Nabire dengan lebih kencang lagi. Ingatanku langsung tertuju kepada 3 orang buah hati kami yang sedang berada di sekolah dan suami yang sedang bekerja, seperti apa keadaan mereka? “Ya Allah lindungilah kami semua”, pintaku. Belum genap setahun di Nabire, kami telah mengalami 2 kali gempa dikota yang sama.

Dalam suasana hati tak menentu, kami semua pulang ke rumah. Sepanjang jalan terlihat rumah-rumah hancur dan terjadi kebakaran besar akibat kompor-kompor yang jatuh saat penduduk sedang memasak. Syukur saat kendaraan ke Makodim aku melihat orang-orang yang kukasihi suami dan anak-anakku sedang bergandengan tangan. Belakangan aku ketahui bahwa anak-anakku terjebak di dalam rumah saat gempa, tidak bisa keluar rumah, karena setiap pintu dibuka oleh anakku, maka segera tertutup sendiri akibat gempa, disisi lain suamiku yang tengah berada di kantor segera berlari sekencang-kencangnya ke rumah karena rumah kami tidak terlalu jauh dari kantor, walaupun sudah diingatkan oleh orang-orang untuk tiarap, namun tak dihiraukan oleh suamiku mengingat anak-anak kami masih berada dirumah, tidak sekali dua kali suami jatuh bangun saat berlari menuju rumah karena digoncang gempa yang sangat kuat. Saat suamiku tiba dirumah untungnya supir dinas kami yang bernama Praka Burhan telah berhasil mengeluarkan mereka, Ya Allah tak henti aku bersyukur karena Engkau telah melindungi kami sekeluarga. “Mau pulang ke Jawa, Mau pulang ke Jawa”, tak henti-hentinya anakku berteriak sambil menangis karena ketakutan mengingat kejadian yang menimpa mereka, kami harus sabar menghadapinya. Dengan cepat suamiku mencarikan tempat yang relatif aman dan teduh untuk kami semua, disekitar lapangan, jauh dari bangunan. Dengan kata-kata yang sedikit memaksa suamiku menegasakan agar aku tak beranjak dari sisi anak-anakku dan tetap menjaganya, karena suamiku harus harus segera beranjak meninjau daerah, sehubungan saat itu Dandim Letkol Inf Didied Pramudito sedang mengadakan kunjungan kerja ke Koramil 1705-05/Mulia di Kabupaten Puncak Jaya. “Ma, tinggallah dulu disini, jaga anak-anak, lakukan sebisanya untuk menenangkan mereka, saya harus meninjau kerusakan daerah, serta melakukan hal-hal yang perlu segera dikerjakan, anggota akan mengurus kebutuhan warga Kodim” , demikian pesan singkat suamiku. Rasa takut semakin menghantuiku karena anak-anak terus menangis. Namun bersama ibu-ibu Persit lainnya akhirnya kami dapat saling menenangkan diri. Kami melihat anggota Kodim dengan cepat membawa peralatan tenda lapangan dan fieldbed keluar dari Kodim, ternyata atas perintah suamiku untuk dipasang di RSUD Nabire guna membantu dalam pengobatan orang-orang yang luka parah. Suamiku diantaranya memeriksa keadaan Bupati Nabire, kediaman ibu Ketua Persit, Asrama Kodim, Polres, Yonif 753/AVT, sarana dan prasana yang rusak didaerah serta mendata kebutuhan yang harus segera diadakan agar penanganan kerusakan daerah dan korban masyarakat segera dapat ditangani, agar pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan tidak lumpuh, seta melakukan koordinasi dengan instansi yang masih dapat dikerahkan seperti Yonif 753/AVT dan Polres Paniai, demikian cerita suamiku belakangan. Sekitar pukul 17.00 Wit suamiku kembali untuk menenangkan kami semua, tenda-tendapun telah dipasang untuk istirahat malam. Suami mengajak aku dan anak-anak untuk kembali meninjau asrama Kodim di Siriwini maupun di Kota Lama, untuk membesarkan hati para prajurit dan keluarganya, karena ada prajurit yang keluarganya meninggal tertimbun rumah, hal lain yang menyedihkan banyak diantara istri prajurit yang tengah ditinggal suami yang sedang bertugas di Koramil pedalaman, sehingga segala sesuatunya harus ditangani sendiri, namun rasa kekeluargaan yang kuat telah menguatkan mereka untuk saling membantu.

“Ma….., aku lapar” tiba-tiba terdengar anakku berkata mengiba, aku tersadar karena sejak gempa terjadi hingga malam hari pukul 24.00 Wit kami semua belum makan, karena tidak ada satupun penjual makanan ataupun yang menyiapkan makanan, semua serba darurat. Suamiku mencoba menyabarkan anak-anak. Baru pada pukul 01.00 dinihari kami dapat menyuapi anak-anak dengan mie instan buatan ibu Ketua kami, saat kami mengunjungi kediaman beliau. Selain itu ibu Ketua dengan cekatan memandikan anak-anakku dengan air hangat, kulihat lahap sekali mereka makan karena rasa lapar. Namun nasib kurang beruntung menimpa anakku yang terkecil, karena saat itu tidak ada air susu, kasihan engkau buah hatiku, tak tega rasanya Mama melihatmu menderita, tidak ada susu untuk menghalau haus dan laparmu, anakku terlelap sendiri karena letih, tak terasa menitik air mataku, maafkan mama, anakku.

Saat ini keadaan Nabire telah normal kembali, namun kami tetap harus waspada, karena sewaktu-waktu bencana dapat datang kembali, “Ya Allah semoga Engkau selalu bersama kami, hentikan cobaan yang menimpa kami”. Aku bagi cerita ini kepada para pembaca sekalian, terutama yang sempat merasakan penderitaan yang sama walau dalam kondisi yang berbeda, semoga kita semua tabah dan kuat menghadapi cobaanNYA.

Sebagai istri prajurit kami merasa berbangga hati dan bersyukur Karena dari beberapa cerita yang kami dengar maupun kami baca dikoran setempat sesudahnya, termasuk tentunya yang kami alami sendiri. Bahwa prajurit TNI selalu tampil terdepan untuk meolong sesama walapun toh para prajurit dan keluarganya juga turut menjadi korban.

By. Dian hari