KISAH PERJALANAN ISTRI PRAJURIT
Menjadi istri prajurit?, sebelumnya
tidak pernah terbayangkan olehku, namun Allah SWT telah mempertemukan
aku dengan pujaan hatiku Letda Art Hari Arif Wibowo yang mempunyai
status sebagai prajurit TNI AD. Setelah menikah kami menjalani hidup di
asrama Batalyon Arhanudri-3 Dam III/Slw, tempat tugas suamiku selama
ini. Pada saat itu belum tampak kesulitan yang menghadang didepan mata,
karena disposisi Batalyon tersebut berada di kota Bandung, sehingga
banyak kemudahan yang dapat diakses.
Setelah melaksanakan tugas
pendidikan Selapa Arhanud pada akhir tahun 2000, suamiku memberitahu,
bahwa kami akan pindah satuan ke wilayah Kodam XVII/Trikora. Saat itu
seakan tidak percaya bahwa kami akan pindah ke tempat nun jauh di ujung
timur Indonesia. Namun sayangnya kepindahan kami ke Irja dianggap oleh
beberapa orang bahwa kami “dibuang”. Tapi kami tidak merasa demikian
karena dalam pendidikan Selapa suami saya masuk 10 besar dan kami tidak
pernah mempunyai masalah dalam kedinasan maupun keluarga, sehingga
omongan orang kami anggap angin lalu saja, kami menganggap tugas ke
Irian Jaya adalah sesuatu yang wajar karena kami telah lama berada di
Jawa, suami saya berkata bahwa tugas kemanapun adalah kehormatan, “Siapa
lagi yang akan ke Irja, kalau setiap prajurit menolak diberangkatkan
untuk menjadi organik disana” begitu suami selalu mengingatkan agar
tidak terbawa kata orang bahwa kami “dibuang” ke Irja . Sebagai istri
prajurit yang telah mengucap janji setia kepada suami, maka dengan
kerelaan hati saya mengikuti suamiku berangkat ke Irian Jaya (saat ini
Papua). Namun karena kami belum mengetahui kondisi daerah yang akan kami
tuju, maka dua orang buah hati kami terpaksa kami tinggalkan di
Semarang untuk sementara waktu. Yang terasa cukup memberatkan adalah
kami harus meminjam uang untuk berangkat ketempat tugas yang baru, namun
tugas adalah prioritas, dan kami berfikir tentunya Negara tidak akan
melupakan prajurit yang berangkat tugas kemanapun tujuannya. Syukurlah
tidak berapa lama Negara mengganti biaya perjalan dinas kami melalui BPD
pindah satuan.
Perjalanan pindah kami ke Papua kami lalui dengan
menumpang KM Ciremai, yang biasa disebut dengan kapal putih, rasa takut
menghantuiku karena cuaca yang sangat buruk menyebabkan aku berfikiran
yang tidak-tidak, aku teringat tentang KM Tampomas II yang karam di Laut
Masalembo, padahal kami juga melewati daerah itu dalam cuaca yang
sangat buruk, Tuhan selamatkanlah kami semua. Belum selesai masalah
cuaca, ditambah lagi dengan masalah baru, sesampainya kami di Kendari
ternyata kapal kami dibajak oleh Laskar Pejuang Islam yang akan masuk ke
Ambon. “Pengumuman, kapal ini dalam kekuasaan Mujahid pejuang Islam’
semua penumpang dilarang berkeliaran, kapal ini tetap kami kuasai sampai
kami tiba di Ambon” demikian pengumuman dari “pembajak”, suasana sangat
mencekam, selama lebih kurang 1 hari kami terkurung di kelas ekonomi
yang dikunci oleh “pembajak”, ternyata semua crew kapal seluruhnya telah
meninggalkan kapal, karena tidak mau berlayar bila ada penumpang yang
mengganggu keamanan kapal dan penumpang . Namun setelah negosiasi dengan
aparat keamanan dan Pemda Kendari, kapal dapat berlayar kembali, dengan
tambahan penumpang para “pembajak” tadi, sehingga rasa was-was selalu
menghantuiku. Yang lucunya sesampainya di Ambon, “pembajak” yang tadinya
garang ternyata begitu turun di pelabuhan langsung ditangkap Prajurit
TNI yang bertugas di Ambon, mereka turun dari kapal dengan berjalan
jongkok, Alhamdulillah kami semua selamat.
Sampai di tempat yang
kami tuju yaitu Pulau Biak yang berada di Teluk Cendrawasih, saya
semakin takut karena tiba pada dinihari, namun syukurlah kami dijemput
kendaraan Korem 173/PVB selanjutnya menginap dirumah teman, baru esoknya
kami ditempatkan di perumahan Korem, rumah dinas tersebut sangat besar
dan kami hanya berdua saja dengan barang seadanya. Sehingga praktis kami
hanya menggunakan satu kamar saja. Suami saya mendapat tugas sebagai
Pasibinkamwil Korem 173/PVB, sehingga suami perlu “belajar” ekstra untuk
mengenal tugasnya yang baru, maklum selama ini suami saya tidak pernah
bertugas di Teritorial. Setiap suami saya lembur di kantor, saya pasti
diajak atau dititipkan dikenalan, karena suami saya khawatir
dengan keselamatan saya, mengingat situasi disekitar kami tidak terlalu
kondusif, terutama bila malam hari. Bercerita tentang kemanan, saya
teringat kejadian lucu, pada saat itu saya dan suami sedang
berjalan-jalan dipinggiran kota dengan naik sepeda motor dinas pada sore
hari, kami terkejut karena banyaknya warga yang membangun “pos”
dibeberapa tempat strategis, suami saya memutuskan untuk kembali, karena
berfikiran akan ada hal-hal yang tidak baik, mengingat beberapa waktu
yang lalu kota Biak “dipalang”/ditutup masyarakat dengan membawa senjata
tajam, panah dan tombak karena menuntut Pemda, saat kami berjalan-jalan
adalah pada bulan Desember 2001, sehingga kami berfikir akan ada
perayaan Papua Merdeka, ternyata dugaan kami meleset, setelah bertanya
kepada tetangga kiri kanan, baru kami tahu bahwa pembangunan pos
tersebut adalah untuk menyambut perayaan Natal. Setelah berdinas 3
tahun di Korem suami saya mendapat promosi sebagai Kasdim 1705/PN, Namun
yang kami khawatirkan adalah pada masa kepindahan kami kota Nabire
sedang dilanda Gempa yang hebat, sehingga hari-hari kami lalui dengan
rasa khawatir, namun kehidupan di Kodim yang sangat kekeluargaan
menyebabkan kami semua lebih tenang. Di Nabire dalam satu tahun kami
mengalami gempa sebanyak dua kali yaitu diawal kepindahan dan diakhir
tahun, gempa terakhir ini hampir merenggut hidupku dan anak-anakku. Kami
bangga walapun prajurit TNI dan keluarganya juga terkena bencana alam,
namun prajurit TNI selalu berada didepan untuk terlibat langsung
membantu masyarakat luas pada hari pertama terjadinya bencana sampai
pulihnya keadaan secara keseluruhan.
Peristiwa gempa Nabire yang
kedua membawa kenangan lain, karena dalam kondisi yang mencekam, karena
setiap hari selalu terjadi gempa susulan, mendadak kami menerima berita
bahwa Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono dan
beberapa Menteri akan berkunjung dan menginap di Nabire selama 3 hari,
maka terjadi kesibukan luar biasa dalam keadaan yang seadanya, suami dan
para prajurit lain menyiapkan rencana pengamanan bapak RI-1, sedangkan
ibu-ibu persit, Bhayangkari dan Dharma Wanita terlibat membantu digaris
belakang, agar kunjungan tersebut sukses secara keseluruhan, tak urung
membuat kami juga terlibat kesibukan, karena banyaknya tamu yang datang
sebelum hari “H” kunjungan dan terutama pada hari kunjungan, namun kami
bekerja dengan gembira karena Bapak Presiden berkenan melihat kami yang
sedang kesusahan. Ada satu keadaan yang membanggakan, kami anggota
Persit diberikan waktu untuk mendapat pengarahan dari Ibu Negara di
kelas Lapangan Yonif 753/AVT, pada saat sedang menerima pengarahan
rombongan Presiden melewati tempat pengarahan untuk menuju lokasi tenda,
tempat menginap Presiden, ibu-ibu Persit spontan meminta ibu Ani
Yudhoyono untuk meminta Presiden berkenan bertatap muka dengan Persit,
tak dinyana ternyata pucuk dicita ulampun tiba, Presiden berhenti dan
masuk ke kelas lapangan beserta seluruh Menteri, selanjutnya kami
mendapat arahan untuk selalu sabar menghadapi cobaan ini, Esoknya
setelah Presiden menerima wawancara TV, kami semua mendengar pengumuman
bahwa kunjungan Presiden ke Papua dipersingkat, karena adanya kejadian
gempa yang lebih besar di Aceh yang disertai Tsunami, Maha besar Allah,
Nabire tidak mengalami gempa dan tsunami sebesar Aceh. Setelah itu kami
diberi kesempatan untuk berfoto bersama, ehm, ini hal yang langka untuk
kami lewatkan begitu saja.
Pada awal tinggal di Asrama Kodim ada hal
yang membuat saya dan anak – anak khawatir, karena disekitar tempat
tinggal kami pada setiap malam selalu terdengar suara kode yang
bersahut-sahutan yang sangat keras, dalam bahasa daerah setempat, tapi
lama kelamaan suara tersebut selalu menemani kami dalam tidur malam,
rasanya seperti dininabobokkan. Suasana yang juga mencekam setelah
gempa adalah selalu padamnya lampu di kota Nabire, setiap terjadi lampu
padam suami dan anggota Kodim langsung bersiaga di Makodim mengingat
belum lama berselang gudang senjata Kodim Wamena dibobol OPM, sehingga
jatuh korban, maka atas perintah Dandim kewaspadaan satuan harus
ditingkatkan. Bukan hanya prajurit, para istripun tidak tidur khawatir
bila terjadi sesuatu yang buruk, setelah suami kembali dan lampu menyala
kembali, barulah tenang rasanya hati ini.
Selain itu ada kejadian
dimana terjadi bentrok antara anggota Brimob BKO sebagai Satgas Tindak
illegal logging dengan anggota Batalyon 753/AVT, diawali dengan kejadian
penembakan Brimob kepada anggota TNI pada saat antri BBM, yang meluas
menjadi perselisihan antara TNI dengan Polri. Pada saat itu Dandim
sedang dinas luar, sehingga suami saya menjadi yang tertua di Kodim.
Pada saat itu beberapa anggota TNI disweeping oleh anggota Polri yang
tidak berseragam, kebetulan esoknya akan ada kunjungan kerja Danrem
173/PVB, maka suami saya bertindak cepat untuk menghentikan pertikaian,
namun rupanya karena kedua pihak masing-masing bersikeras maka
penyelesaian menjadi sulitdan berlanjut dengan terjadinya saling “ciduk”
antar anggota TNI dan Polri yang kebetulan berada pada tempat dan waktu
yang salah. Dalam rangka menyambut kunjungan Danrem kami anggota Persit
berniat berbelanja keperluan kunjungan Danrem, namun sesaat setelah
kami berangkat suami menelpon saya untuk kembali karena situasi tidak
aman, kami langsung “ngacir pulang” dari pada terjadi sesuatu yang tidak
baik, anak-anakpun kami larang masuk sekolah. Dengan mengandalkan
hubungan yang baik selama ini dengan Polres Nabire, maka suami saya
mengintensifkan upaya damai kedua pihak, dalam beberapa malam suami saya
tidak kembali kerumah dan berpesan untuk seluruh keluarga prajurit di
asrama tidak keluar rumah, Ibu Ketua Koorcab dan Wakil Ketua Koorcab Rem
173/PVB selalu mengingatkan kami untuk waspada, serta kami disuruh
tiarap di dalam kamar bila terjadi tembak menembak, namun syukurlah hal
tersebut tidak sampai terjadi di asrama kami. Setelah kejadian berlalu
lama baru saya tahu bahwa kejadian di luar cukup gawat. Suami saya
sebagai yang tertua di satuan kewilayahan saat itu, mengedepankan
dialog yang intensif dengan pihak yang bertikai dan didukung oleh
petunjuk-petunjuk Bapak Danrem 173/PVB, setelah melalui upaya paksa
“mengeluarkan” Satuan Brimob dari Nabire, maka situasi
berangsur-angsur pulih, momentum itu dijadikan modal untuk segera
mengembalikan situasi agar lebih kondusif, sehingga diadakan apel dan
kegiatan bersama antara TNI-Polri, syukurlah prakarsa tersebut menjadi
titik balik kejadian “permusuhan” yang baru saja terjadi dan tidak
meluas, seperti pada kejadian yang serupa ditempat lain.
Beberapa
kejadian tersebut, serta cerita lain di Papua yang tidak akan pernah
kami lupakan memberikan pengalaman berharga yang tidak terkira, dimana
loyalitas dan keikhlasan sebagai istri prajurit dalam mendukung tugas
suami dimanapun berada akan memberikan hal terbaik. Setelah suami
mengikuti Seskoad pada tahun 2007, tanpa terasa lebih kurang enam tahun
suami bertugas di Papua, kami semua dilepas dengan segala kenangan yang
membekas dihati. Terima kasih ya Allah, bimbinglah kami selalu dalam
menjalankan tugas dan dalam mengarungi kehidupan ini, Amien.
Ny. Hari Arif Wibowo
Kamis, 13 Juni 2013
Sabtu, 25 Desember 2010
ALUT SISTA ARHANUD
KEBUTUHAN ALUT SISTA ARHANUD
DIHADAPKAN PADA PERSPEKTIF 4th GENERATION WAR
PENDAHULUAN
Perang adalah domain negara, menilik arti perang yaitu sebagai salah satu resolusi konflik dengan menggunakan kekuatan bersenjata dan merupakan upaya terakhir yang diputuskan negara manakala upaya politis dengan cara-cara damai tidak dapat menyelesaikan konflik, terutama konflik bersenjata. (JS. Prabowo, Perang Darat, 2009, hal. 1). Mengingat peran negara sangat dominan dalam penyelesaian suatu konflik bersenjata antar negara begitu dominan, maka tuntutan tanggungjawab negara untuk memenangkan perang, selain tuntutan terhadap semua potensi nasional guna menjalankan kewajibannya untuk membela negara, maka negara harus dapat menjamin kesiapan negara untuk menang dalam suatu perang, diantaranya adalah jaminan dari kesiapan Alut Sista.
Sesuai dengan judul di atas, maka perlu diketahui pula seperti apa perspektif perang generasi IV (4GW). Penggolongan peperangan saat ini ada empat golongan, mulai dari 1GW adalah perang yang mengandalkan kekuatan manusia dan dilakukan di ruang terbuka dimana prajurit saling berhadapan, 2GW adalah perang yang mengkombinasikan daya gerak dan daya tembak, dimana pasukan bertahan terutama pada parit pertahanan lebih memiliki keunggulan menguasai medan, sehingga dibutuhkan perimbangan 1:3 antara pihak penyerang dengan yang bertahan, 3GW adalah perang yang merupakan pengembangan dari 2GW didukung mobilitas manuver, tehnologi senjata dan informatika dengan tidak lagi mengandalkan ratio perbandingan 1:3, yang terakhir adalah 4GW yang merupakan perang asimetris atau non linier yang menggunakan seluruh sarana dan prasarana dan system senjata yang ditujukan terutama untuk menghancurkan kemauan bertempur musuh, perang ini sangat dekat dengan perang gerilya.
Apa hubungan antara tanggung jawab negara dengan perspektif perang generasi IV ditinjau dari kebutuhan Alut Sista yang harus dimiliki oleh satuan Arhanud. Tinjauan terhadap perspektif perang 4GW tersebut perlu diciutkan pada perang tanpa adanya garis linier, dalam arti mudahnya adalah semua kekuatan bersenjata yang ada harus mampu mejalankan setiap pertempuran dalam lingkup perang yang dijalankan oleh negara dengan mobilitas yang sangat tinggi, termasuk pada satuan Arhanud. Maka negara harus dapat menyediakan dukungan alat peralatan perang satuan Arhanud yang mengarah pada perspektif perang generasi IV tersebut.
Tulisan ini mencoba menganalisa berbagai macam tinjauan dari berbagai sudut pandang, agar didapatkan sebuah saran masukan tentang kebutuhan Alut Sista satuan Arhanud dalam rangka menghadapi perspektif perang generasi IV.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Indonesia pernah menjadi negara yang sangat kuat ditinjau dari kekuatan militer dan diplomasi di kawasan, pada era tahun 60-an, dengan kekuatan senjata yang didapatkan dari negara-negara blok timur dalam rangka berbagai kepentingan menghadapi konfrontasi dengan Belanda pada perebutan Irian Barat, maupun saat pelaksanaan operasi Dwi Kora, karena sikap politik negara pada masa itu yang menentang dibentuknya Negara Konfederasi Malaya, mengingat Indonesia pada masa itu condong ke timur dengan penegasan pada poros Jakarta - Peking sehingga kehadiran kekuatan pro barat, dianggap merupakan neo kolonialisme. Diluar alasan itu semua, yang terpenting kekuatan angkatan bersenjata Indonesia pada masa itu tiada tandingannya, sehingga negara-negara kawasan menjadi berhati-hati dan penuh perhitungan dengan eksistensi kekuatan militer Indonesia. Namun pada perkembangan selanjutnya kedigdayaan kekuatan militer Indonesia tidak diikuti dengan langkah-langkah lanjutan untuk mempertahankan superioritas tersebut.
Negara-negara lain dengan usaha keras terus mengembangkan kualitas kemampuan angkatan perangnya, walaupun terdapat keterbatasan dari jumlah penduduk untuk menjadi salah satu efek detern namun negara lain lebih menekankan kualitas Alut Sista yang dimiliki dihadapkan pada perkembangan tehnologi maupun bentuk perang yang dihadapi. Sedangkan Indonesia cenderung stagnan pada kemampuan militer yang dimiliki tanpa upaya yang signifikan untuk mempertahankan superioritas kekuatan militer tersebut dikawasan. Sebagian besar Alut Sista yang dimiliki oleh Indonesia terutama milik TNI AD masih menggunakan tehnologi tahun 60an dan diperbaharui pada tahun 80 an, dengan tetap mempertahankan sebagian Alut Sista keluaran tahun 60 an tersebut, sehingga terdapat penurunan kualitas pertahanan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di kawasan, hal tersebut tentunya mengurangi kewibawaan negara terhadap negara - negara disekitarnya maupun negara lain yang memiliki kepentingan atas Indonesia.
Disisi lain pembangunan perekonomian masyarakat terus dikembangkan bahkan terkesan kurang terkoordinir, sehingga berpengaruh pada aspek pertahanan Negara utamanya pada pengerahan kekuatan satuan Arhanud. Secara umum Alut Sisa yang dimiliki oleh satuan Arhanud saat ini memerlukan ruang yang cukup luas pada titik gelar yang ideal agar dapat memberikan perlindungan udara pada obyek vital yang diprioritaskan. Namun percepatan pembangunan di Indonesia cenderung mengabaikan kepentingan aspek pertahanan, diantaranya tidak dialokasikannya ruang untuk gelar satuan Arhanud pada RTRW pemerintah baik pusat maupun daerah, walaupun pihak TNI telah membuat kebutuhan pertahanan pada RUTR Wilhan, sehingga kebutuhan akan tempat gelar yang ideal serta coverage yang maksimum tidak dapat lagi terpenuhi. Kepadatan bangunan baik perumahan maupun fasilitas umum tidak memberikan ruang yang cukup pula untuk mobilitas satuan Arhanud yang rata-rata memiliki Alut Sista yang relatif besar dan berat.
Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan Arhanud dalam memberikan perlindungan udara adalah tehnologi senjata, yang secara umum masih menggunakan tehnologi lama, sedangkan perkembangan pesawat tempur maupun persenjataan air to ground sudah begitu pesatnya. Hal tersebut tentunya tidak akan memberikan imbangan yang memadai pada pebandingan daya tempur relatif yang dimiliki satuan Arhanud dibandingkan dengan kemamuan pesawat terbang serta system persenjataannya.
Peperangan 4GW juga mengisayaratkan perang dengan mobilitas tinggi tanpa mengenal batas teritori maupun garis linier yang jelas, sehingga daya gerak dan daya tembak menjadi syarat utama untuk menang pada perang model ini. Bukan hanya menang perang dalam arti dapat menghancurkan musuh, namun juga unggul untuk menghindar dari upaya penghancuran musuh, sehingga mampu melaksanakan pertempuran dengan metode hit and run. Sementara ini system senjata Arhanud yang ada sebagaian besar tidak memiliki mobilitas yang tinggi dan sulit untuk dikerahkan pada perang 4GW, karena mobilitas yang rendah, serta memerlukan waktu penyiapan senjata sampai siap tembak yang relatif lama serta sulit disamar ditinjau dari size senjata.
HARAPAN DALAM PENYEDIAAN ALUT SISTA ARHANUD
Sebagai pembanding dalam perkembangan kemampuan tempur dan pertahanan yang dikembangkan oleh beberapa negara di dunia, diantaranya oleh negara Singapura, dalam bukunya Building Our 3rd Generation Army, yang memberikan gambaran arah pembangunan kekuatan dan cara bertempur Angkatan darat Singapura (JS. Prabowo, Perang Darat, 2009, hal 41), yang bercirikan: Precision manoeuvre yang diwujudkan dalam: (1) semakin meningkatnya kemampuan dan kelincahan unsure maneuver (greater mobility and agility); (2) Memeperkuat kekebalan dan daya gempur (lethality survivability)yang diwujudkan dalam penggunaan tank leopard 2A4 dan roket Artileri HIMARS (High Mobility Artillery Rocket System); (3) Meningkatkan kehandalan dalam perang kota (urban capable) melalui penerapan Battle Managemen System (BMS) yang diterapkan pada setiap satuan daratnya. Precision fires, dalam bentuk: (1) Terintegrasinya bantuan tembakan artileri, kapal dan pesawat terbang dalam mendukung satuan manuver (integrated and network fires); (2) Meningkatnya kecepatan dan kekuatan tembakan (faster sense-shoot cycle); (3) Meningkatkan ketepatan dan jangkauan tembakan bantuan yang memiliki daya hancur yang masif (greater fire power, precision and range) antara lain diwujudkan melalui pengunaan roket HIMARS. Precision information atau meningkatkan akurasi informasi yang diwujudkan dalam bentuk membangun jaring komunikasi tempur terpadu dengan Angkatan Laut dan Angkatan Udara (networking the battlefield), guna mensinergikan gerakan unsur manuver dan tembakan (synchronization maneuver and fires), mendukung proses pengambilan keputusan (decision support) dan meningkatkan kepekaan dalam penilaian situasi (Superior situation awareness).
Pada edisi Koran Kompas Jum’at, tanggal 24 September 2010, mengulas dalam kolom tulisan mengenai kebijakan pemerintah Amerika Serikat, melalui Menteri Pertahanannya Robert Gates, bahwa Amerika telah menghentikan produksi pesawat tempur F 22 Raptor pada total pembuatan pada angka 187 unit dari 750 unit yang direncanakan, mengingat mahalnya produk pembuatan pesawat tempur tersebut dan tidak ada lawan sebanding yang dapat menghadapinya serta belum pernah beroperasi dalam misi tempur di Irak maupun Afganistan, disisi lain Amerika sangat menyadari mahalnya biaya pembuatan, pemeliharaan serta pengoperasiannya. Kekhawatiran yang sama juga terjadi pada kerjasama militer Amerika dan Eropa dalam pembuatan pesawat tempur JSF 35 Lighting, maupun pada pesawat tempur Eurofighter typhoon mengalami kemerosotan dari segi pesanan. Hal menarik lainnya bahwa Amerika cenderung lebih “senang” mengoperasikan pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehical) karena murah dan tidak ada resiko kehilangan pilot yang juga mahal biayanya. Mengingat Amerika mulai kesulitan mengelola pengeluaran anggaran militernya yang mencapai angka 700 miliar dollar AS pertahun (sekitar Rp. 6,3 kuadriliun, atau hampir setara dengan anggaran pertahanan dunia digabung menjadi satu). Hal yang sama juga terjadi di Negara Perancis yang hanya akan mempertahankan satu kapal induk Charles de gaulle, ataupun di Inggris yang hanya akan menggunakan dua kapal induk berukuran sedang yakni HMS Invincible dan HMS Ark Royal yang bahkan sering berlayar tanpa membawa pesawat terbang (harian the Economist) Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa patokan tehnologi bukanlah hal utama bila dibandingkan kemampuan negara dalam bidang anggaran. Bahkan negara sekelas Amerika juga kesulitan untuk mempertahankan hegemoni dibidang tehnologi militer sehingga mencari terobosan baru yang lebih murah.
Bila TNI AD telah membuat blue print tentang arah perang masa depan sebaiknya Pussenarhanud Kodiklat TNI AD juga segera menyikapi hal tersebut dengan mengarahkan kebijakan dalam penentuan taktik, tehnis serta jenis Alut Sista dan system pendukung lainnya yang mengarah pada kemungkinan doktrin perang masa depan yang sesuai dengan 4GW. Walaupun akhir peperangan sangat ditentukan oleh peronel sebagai penentu apakah sasaran dapat diduduki dan dikuasai atau tidak, namun elemen bantuan seperti satuan Arhanud yang mengedepankan tehnologi mutlak diperlukan untuk dapat memberikan perlindungan udara yang maksimal dari kemungkinan ancaman serangan udara musuh. Belajar dari uraian tentang Singapura dan Amerika serta Eropa, perlu kita pahami diperlukan modernisasi angkatan perang seperti yang dilakukan oleh Singapura agar mampu menangkal setiap kemungkinan ancaman juga mungkin ingin menjadi superior di kawasan dan juga apa yang dilakukan oleh Amerika untuk tidak terlalu menonjolkan tehnologi sampai perlu “habis-habisan” mengeluarkan biaya besar untuk me-research tehnologi militer guna ditingkatkan secara terus menerus, karena akan membebani angaran negara.
Tentunya sebagai negara yang masih tergolong sebagai negara berkembang, Indonesia perlu menyadari keterbatasan anggaran, disisi lain pengembangan pembangunan daerah yang tidak terkoordinasi dengan baik antar instasi pemerintah baik dipusat maupun daerah sangat merugikan aspek penyiapan daerah bagi kegiatan pertahanan negara, maka dari itu perlu disikapi oleh Angkatan Darat dan seluruh jajarannya termasuk secara spesifik Pussenarhanud Kodiklat TNI AD untuk mengembangkan terus upaya modernisasi namun juga memperhatikan aspek-aspek tehnis tentang angaran dan kesiapan wilayah dalam penyiapan ruang bagi gelar daerah pertahanan udara yang semakin sempit dan tidak memungkinkan lagi untuk menampung system pertahanan udara yang berukuran besar serta komplek. Pertimbangan tehnis lain diantaranya coverage yang ideal untuk peninjauan sasaran udara sudah sulit didapatkan oleh satuan Arhanud, mengingat banyaknya bangunan-bangunan tinggi yang berada disekitar daerah pertahanan udara, sehingga tidak memberikan kualitas Dahanud yang baik.
Dari beberapa data sederhana yang disampaikan diatas tentu dapat ditentukan harapan seperti apa yang diinginkan dalam penyediaan Alut Sista Arhanud dihadapkan pada pekembangan perang generasi ke empat yang akan dihadapi Indonesia pada trend saat ini.
SPESIFIKASI UMUM ALUT SISTA ARHANUD YANG DIINGINKAN
Uraian tulisan di atas dan harapan yang ingin dipenuhi serta berbagai keterbatasan yang dimiliki Indonesia menjadi tolok ukur dalam penentuan spesifikasi umum Alut Sista yang ingin dipenuhi melalui tulisan ini. Sehingga dapat memberikan masukan untuk memikirkan ulang tentang kebijakan pengembangan persenjataan. Pada kunjungan kerja Danpussenarhanud Kodiklat TNI AD ke Yonarhanudri-3 pada Triwulan ketiga TA. 2010, telah disampaikan beberapa kesulitan gelar satuan Arhanud untuk memberikan perlindungan pada obyek vital yang diprioritaskan di Kodam III/Slw karena terbatasnya daerah gelar yang ada dihadapkan pada jenis Alut Sista meriam sekelas meriam 40 mm / L-70. Diyakini juga hal yang sama juga dialami sebaian besar satuan Arhanud TNI AD karena Alut Sista yang dimiliki juga berada pada kelas yang sama ataupun diatasnya.
Bila ditinjau dari kesiapan wilayah dalam kurun waktu sekarang maupun kedepan serta keberadaan obyek vital nasional maupun daerah yang relatif tetap dan berada ditengah kepadatan pembangunan fisik daerah, maupun obyek rawan berupa satuan manuver yang bergerak pada daerah yang memiliki kontur medan yang bervariasi dan sulit, maka diperlukan Alut Sista Arhanud yang simpel, portable serta ringan, memiliki daya jangkau yang relatif jauh dan tidak lagi ada pembedaan antara ukuran satuan Arhanud ringan maupun sedang atau berat (bila ada). Namun lebih diutamakan penyebutan satuan Arhanud “saja” tanpa embel-embel ringan atau sedang. Tujuan dari generalisasi penyebutan satuan Arhanud tersebut adalah untuk memberikan ruang yang lebih luas pada penggunaan satuan Arhanud disetiap Kotama yang memiliki ataupun untuk dioperasionalkan diluar Kotama organiknya, mengingat Alut Sista yang dimiliki memiliki fleksibiltas tinggi dalam penggunaannya. Mengingat memiliki ukuran yang relatih kecil, simpel dalam penyiapan sampai dengan siap operasi, portable mudah dibongkar pasang dalam waktu yang relatif singkat, ringan sehinga tidak memerlukan daerah khusus yang luas serta karena dapat dioperasionalkan pada daerah yang sulit dilalui oleh kendaraan, karena dapat dipanggul oleh manusia serta dapat memanfaatkan bangunan-bangunan tinggi sebagai daerah gelar yang dapat memberikan coverage yang maksimal. Namun Alut Sista seperti ini haruslah tetap didukung sistem Radar yang baik agar dapat beroperasi secara mandiri, bila terdapat gangguan pada penyediaan berita sasaran oleh Kosek Kohanudnas.
Tinjauan lain dari segi organisasi tentu akan lebih baik, bila diasumsikan organisasi satuan Arhanud masih seperti sekarang yang anggotanya berkisar pada jumlah 500 an orang maka prajurit tersebut yang semula hanya dapat mengawaki beberapa pucuk meriam/Rudal, karena setiap pucuk yang berukuran relatif besar memerlukan awak yang banyak, dapat diperluas menjadi dua kali lipat jumlah senjata nya karena Alut Sista yang dipilih hanya memerlukan sedikit personel untuk mengawaki. Organisasi satuan Arhanud akan lebih baik dalam memberikan perlindungan udara karena secara taktis akan memberikan kedalaman yang lebih baik bila dioperasionalkan dalam satu titik rawan, atau dapat pula memaksimalkan jumlah titik rawan yang perlu dilindungi, serta organisasi satuan Arhanud menjadi lebih mobil, mengingat uraian sebelumnya bahwa terminologi dari 4GW hampir identik dengan kecepatan bergerak tanpa adanya garis linier yang membatasi. Performa satuan Arhanud akan menjadi lebih baik bila ditinjau dari kemampuan lintas meda yang tinggi dan dapat dioperasionalkan pada semua bentuk medan baik yang terbuka maupun yang terhalang oleh bangunan tinggi serta mampu mengimbangi gerakan satuan manuver dan bersifat mandiri dalam pengoperasiannya.
Pemikiran tentang pembelian Alut Sista yang berukuran besar hanya akan menyulitkan pengoperasionalan satuan Arhanud mengingat peralatan/Alut Sista tersebut akan sarat tehnologi sehingga memiliki cost yang tinggi pula, kemudian penggunaannya yang sementara ini oleh negara lain cukup efektif karena terdapat perbedaan pola pembangunan serta perbedaan posisi obyek vital yang dilindungi, serta memiliki cukup ruang untuk menggelarnya, sementara di Indonesia hal tersebut tidak tersedia. Analisa lain bahwa pengoperasionalan Alut Sista berukuran besar tentunya memerlukan waktu penyiapan yang lebih banyak serta dukungan sarana/prasarana lain yang juga banyak, maka kesiapan untuk menghadapi perang generasi keempat menjadi tidak terdukung. Pengalaman negara yang berada di kawasan maupun Eropa dan Amerika dalam memodernisasi angkatan perangnya dengan tetap memperhatikan aspek biaya rendah serta manuveribility yang tinggi dapat dijadikan acuan bagi pimpinan Arhanud dalam menentukan kebijakan pengadaan Alut Sista bagi satuan Arhanud.
Manpads atau Man portable air defence system adalah merupakan Alut Sista yang memenuhi kriteria yang diuraikan di atas, banyak Negara di dunia menggunakan sistem senjata tersebut, walaupun terdapat pula Negara yang menempatkan sistem senjata tersebut dalam organisasi infanteri karena berbagai pertimbangan, namun dengan kondisi yang ada di Indonesia maka hal tersebut dapat diakomodir sebagai senjata Arhanud. Namun bila satuan Arhanud tidak memperhatikan aspek-aspek yang diuraikan di atas, maka tidak menutup kemungkinan pula satuan Infanteri TNI AD akan lebih dulu menggunakannya, mengingat perlindungan udara yang diberikan pada satuan infanteri dianggap tidak maksimal, karena tidak dapat mengikuti mobilitas satuan infanteri itu sendiri, hal tersebut juga tidak dapat dibatasi mengingat tidak ada aturan yang mengatur tentang sistem senjata Manpads hanya boleh digunakan oleh satuan Arhanud atau dapat digunakan oleh satuan lain pula. Sementara kebutuhan perlindungan udara yang optimal tidak dapat dipenuhi oleh satuan Arhanud maka satuan infanteri akan melakukannya secara mandiri dengan memanfaatkan Alut Sista Manpads tersebut. Tentunya hal tersebut akan merugikan satuan Arhanud, karena kehadirannya tidak lagi dibutuhkan leh satuan lain mengingat satuan lain mampu melaksanakan fungsi anti serangan udara secara mandiri tanpa melibatkan peran serta satuan Arhanud.
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya adalah diperlukan modernisasi angkatan perang guna menghadapi era perang generasi keempat, namun modernisasi angkatan perang perlu memperhatikan kemampuan anggaran negara yang cukup terbatas. Bagi satuan Arhanud sendiri tidak hanya anggaran yang menjadi kendala, tetapi kondisi geografis, pengaturan tata ruang wilayah oleh Pemerintah daerah tidak dapat menunjang optimalisasi perlindungan udara yang menjadi tugas pokok satuan Arhanud. Dengan kondisi tersebut maka disarankan pengadaan Alut Sista satuan Arhanud secara umum haruslah memiliki kriteria umum diantaranya ringan, portable, memiliki flesibilias tinggi, mandiri, mobile, serta dapat dioperasionalkan dalam segala bentuk medan dan tidak merugikan satuan baik dari segi organisasi maupun taktis dan tehnis. Hal tersebut dapat diakomodir pada Alut Sista yang berbentuk Manpads. Saran berikutnya adalah menghilangkan katagori satuan Arhanud ringan maupun sedang, bila satuan Arhanud telah didukung oleh system senjata yang manpads tersebut, sehingga penggunaannya akan lebih fleksibel oleh tiap Kotama.
Demikian tulisan ini dibuat, semoga bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberikan sumbang saran dalam penentuan kebijakan oleh Pussenarhanud Kodiklat TNI AD.
Bandung, 25 september 2010
Penulis: Letkol Arh Hari Arif Wibowo
Danyonarhanudri-3 Dam III/Slw
DIHADAPKAN PADA PERSPEKTIF 4th GENERATION WAR
PENDAHULUAN
Perang adalah domain negara, menilik arti perang yaitu sebagai salah satu resolusi konflik dengan menggunakan kekuatan bersenjata dan merupakan upaya terakhir yang diputuskan negara manakala upaya politis dengan cara-cara damai tidak dapat menyelesaikan konflik, terutama konflik bersenjata. (JS. Prabowo, Perang Darat, 2009, hal. 1). Mengingat peran negara sangat dominan dalam penyelesaian suatu konflik bersenjata antar negara begitu dominan, maka tuntutan tanggungjawab negara untuk memenangkan perang, selain tuntutan terhadap semua potensi nasional guna menjalankan kewajibannya untuk membela negara, maka negara harus dapat menjamin kesiapan negara untuk menang dalam suatu perang, diantaranya adalah jaminan dari kesiapan Alut Sista.
Sesuai dengan judul di atas, maka perlu diketahui pula seperti apa perspektif perang generasi IV (4GW). Penggolongan peperangan saat ini ada empat golongan, mulai dari 1GW adalah perang yang mengandalkan kekuatan manusia dan dilakukan di ruang terbuka dimana prajurit saling berhadapan, 2GW adalah perang yang mengkombinasikan daya gerak dan daya tembak, dimana pasukan bertahan terutama pada parit pertahanan lebih memiliki keunggulan menguasai medan, sehingga dibutuhkan perimbangan 1:3 antara pihak penyerang dengan yang bertahan, 3GW adalah perang yang merupakan pengembangan dari 2GW didukung mobilitas manuver, tehnologi senjata dan informatika dengan tidak lagi mengandalkan ratio perbandingan 1:3, yang terakhir adalah 4GW yang merupakan perang asimetris atau non linier yang menggunakan seluruh sarana dan prasarana dan system senjata yang ditujukan terutama untuk menghancurkan kemauan bertempur musuh, perang ini sangat dekat dengan perang gerilya.
Apa hubungan antara tanggung jawab negara dengan perspektif perang generasi IV ditinjau dari kebutuhan Alut Sista yang harus dimiliki oleh satuan Arhanud. Tinjauan terhadap perspektif perang 4GW tersebut perlu diciutkan pada perang tanpa adanya garis linier, dalam arti mudahnya adalah semua kekuatan bersenjata yang ada harus mampu mejalankan setiap pertempuran dalam lingkup perang yang dijalankan oleh negara dengan mobilitas yang sangat tinggi, termasuk pada satuan Arhanud. Maka negara harus dapat menyediakan dukungan alat peralatan perang satuan Arhanud yang mengarah pada perspektif perang generasi IV tersebut.
Tulisan ini mencoba menganalisa berbagai macam tinjauan dari berbagai sudut pandang, agar didapatkan sebuah saran masukan tentang kebutuhan Alut Sista satuan Arhanud dalam rangka menghadapi perspektif perang generasi IV.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Indonesia pernah menjadi negara yang sangat kuat ditinjau dari kekuatan militer dan diplomasi di kawasan, pada era tahun 60-an, dengan kekuatan senjata yang didapatkan dari negara-negara blok timur dalam rangka berbagai kepentingan menghadapi konfrontasi dengan Belanda pada perebutan Irian Barat, maupun saat pelaksanaan operasi Dwi Kora, karena sikap politik negara pada masa itu yang menentang dibentuknya Negara Konfederasi Malaya, mengingat Indonesia pada masa itu condong ke timur dengan penegasan pada poros Jakarta - Peking sehingga kehadiran kekuatan pro barat, dianggap merupakan neo kolonialisme. Diluar alasan itu semua, yang terpenting kekuatan angkatan bersenjata Indonesia pada masa itu tiada tandingannya, sehingga negara-negara kawasan menjadi berhati-hati dan penuh perhitungan dengan eksistensi kekuatan militer Indonesia. Namun pada perkembangan selanjutnya kedigdayaan kekuatan militer Indonesia tidak diikuti dengan langkah-langkah lanjutan untuk mempertahankan superioritas tersebut.
Negara-negara lain dengan usaha keras terus mengembangkan kualitas kemampuan angkatan perangnya, walaupun terdapat keterbatasan dari jumlah penduduk untuk menjadi salah satu efek detern namun negara lain lebih menekankan kualitas Alut Sista yang dimiliki dihadapkan pada perkembangan tehnologi maupun bentuk perang yang dihadapi. Sedangkan Indonesia cenderung stagnan pada kemampuan militer yang dimiliki tanpa upaya yang signifikan untuk mempertahankan superioritas kekuatan militer tersebut dikawasan. Sebagian besar Alut Sista yang dimiliki oleh Indonesia terutama milik TNI AD masih menggunakan tehnologi tahun 60an dan diperbaharui pada tahun 80 an, dengan tetap mempertahankan sebagian Alut Sista keluaran tahun 60 an tersebut, sehingga terdapat penurunan kualitas pertahanan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di kawasan, hal tersebut tentunya mengurangi kewibawaan negara terhadap negara - negara disekitarnya maupun negara lain yang memiliki kepentingan atas Indonesia.
Disisi lain pembangunan perekonomian masyarakat terus dikembangkan bahkan terkesan kurang terkoordinir, sehingga berpengaruh pada aspek pertahanan Negara utamanya pada pengerahan kekuatan satuan Arhanud. Secara umum Alut Sisa yang dimiliki oleh satuan Arhanud saat ini memerlukan ruang yang cukup luas pada titik gelar yang ideal agar dapat memberikan perlindungan udara pada obyek vital yang diprioritaskan. Namun percepatan pembangunan di Indonesia cenderung mengabaikan kepentingan aspek pertahanan, diantaranya tidak dialokasikannya ruang untuk gelar satuan Arhanud pada RTRW pemerintah baik pusat maupun daerah, walaupun pihak TNI telah membuat kebutuhan pertahanan pada RUTR Wilhan, sehingga kebutuhan akan tempat gelar yang ideal serta coverage yang maksimum tidak dapat lagi terpenuhi. Kepadatan bangunan baik perumahan maupun fasilitas umum tidak memberikan ruang yang cukup pula untuk mobilitas satuan Arhanud yang rata-rata memiliki Alut Sista yang relatif besar dan berat.
Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan Arhanud dalam memberikan perlindungan udara adalah tehnologi senjata, yang secara umum masih menggunakan tehnologi lama, sedangkan perkembangan pesawat tempur maupun persenjataan air to ground sudah begitu pesatnya. Hal tersebut tentunya tidak akan memberikan imbangan yang memadai pada pebandingan daya tempur relatif yang dimiliki satuan Arhanud dibandingkan dengan kemamuan pesawat terbang serta system persenjataannya.
Peperangan 4GW juga mengisayaratkan perang dengan mobilitas tinggi tanpa mengenal batas teritori maupun garis linier yang jelas, sehingga daya gerak dan daya tembak menjadi syarat utama untuk menang pada perang model ini. Bukan hanya menang perang dalam arti dapat menghancurkan musuh, namun juga unggul untuk menghindar dari upaya penghancuran musuh, sehingga mampu melaksanakan pertempuran dengan metode hit and run. Sementara ini system senjata Arhanud yang ada sebagaian besar tidak memiliki mobilitas yang tinggi dan sulit untuk dikerahkan pada perang 4GW, karena mobilitas yang rendah, serta memerlukan waktu penyiapan senjata sampai siap tembak yang relatif lama serta sulit disamar ditinjau dari size senjata.
HARAPAN DALAM PENYEDIAAN ALUT SISTA ARHANUD
Sebagai pembanding dalam perkembangan kemampuan tempur dan pertahanan yang dikembangkan oleh beberapa negara di dunia, diantaranya oleh negara Singapura, dalam bukunya Building Our 3rd Generation Army, yang memberikan gambaran arah pembangunan kekuatan dan cara bertempur Angkatan darat Singapura (JS. Prabowo, Perang Darat, 2009, hal 41), yang bercirikan: Precision manoeuvre yang diwujudkan dalam: (1) semakin meningkatnya kemampuan dan kelincahan unsure maneuver (greater mobility and agility); (2) Memeperkuat kekebalan dan daya gempur (lethality survivability)yang diwujudkan dalam penggunaan tank leopard 2A4 dan roket Artileri HIMARS (High Mobility Artillery Rocket System); (3) Meningkatkan kehandalan dalam perang kota (urban capable) melalui penerapan Battle Managemen System (BMS) yang diterapkan pada setiap satuan daratnya. Precision fires, dalam bentuk: (1) Terintegrasinya bantuan tembakan artileri, kapal dan pesawat terbang dalam mendukung satuan manuver (integrated and network fires); (2) Meningkatnya kecepatan dan kekuatan tembakan (faster sense-shoot cycle); (3) Meningkatkan ketepatan dan jangkauan tembakan bantuan yang memiliki daya hancur yang masif (greater fire power, precision and range) antara lain diwujudkan melalui pengunaan roket HIMARS. Precision information atau meningkatkan akurasi informasi yang diwujudkan dalam bentuk membangun jaring komunikasi tempur terpadu dengan Angkatan Laut dan Angkatan Udara (networking the battlefield), guna mensinergikan gerakan unsur manuver dan tembakan (synchronization maneuver and fires), mendukung proses pengambilan keputusan (decision support) dan meningkatkan kepekaan dalam penilaian situasi (Superior situation awareness).
Pada edisi Koran Kompas Jum’at, tanggal 24 September 2010, mengulas dalam kolom tulisan mengenai kebijakan pemerintah Amerika Serikat, melalui Menteri Pertahanannya Robert Gates, bahwa Amerika telah menghentikan produksi pesawat tempur F 22 Raptor pada total pembuatan pada angka 187 unit dari 750 unit yang direncanakan, mengingat mahalnya produk pembuatan pesawat tempur tersebut dan tidak ada lawan sebanding yang dapat menghadapinya serta belum pernah beroperasi dalam misi tempur di Irak maupun Afganistan, disisi lain Amerika sangat menyadari mahalnya biaya pembuatan, pemeliharaan serta pengoperasiannya. Kekhawatiran yang sama juga terjadi pada kerjasama militer Amerika dan Eropa dalam pembuatan pesawat tempur JSF 35 Lighting, maupun pada pesawat tempur Eurofighter typhoon mengalami kemerosotan dari segi pesanan. Hal menarik lainnya bahwa Amerika cenderung lebih “senang” mengoperasikan pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehical) karena murah dan tidak ada resiko kehilangan pilot yang juga mahal biayanya. Mengingat Amerika mulai kesulitan mengelola pengeluaran anggaran militernya yang mencapai angka 700 miliar dollar AS pertahun (sekitar Rp. 6,3 kuadriliun, atau hampir setara dengan anggaran pertahanan dunia digabung menjadi satu). Hal yang sama juga terjadi di Negara Perancis yang hanya akan mempertahankan satu kapal induk Charles de gaulle, ataupun di Inggris yang hanya akan menggunakan dua kapal induk berukuran sedang yakni HMS Invincible dan HMS Ark Royal yang bahkan sering berlayar tanpa membawa pesawat terbang (harian the Economist) Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa patokan tehnologi bukanlah hal utama bila dibandingkan kemampuan negara dalam bidang anggaran. Bahkan negara sekelas Amerika juga kesulitan untuk mempertahankan hegemoni dibidang tehnologi militer sehingga mencari terobosan baru yang lebih murah.
Bila TNI AD telah membuat blue print tentang arah perang masa depan sebaiknya Pussenarhanud Kodiklat TNI AD juga segera menyikapi hal tersebut dengan mengarahkan kebijakan dalam penentuan taktik, tehnis serta jenis Alut Sista dan system pendukung lainnya yang mengarah pada kemungkinan doktrin perang masa depan yang sesuai dengan 4GW. Walaupun akhir peperangan sangat ditentukan oleh peronel sebagai penentu apakah sasaran dapat diduduki dan dikuasai atau tidak, namun elemen bantuan seperti satuan Arhanud yang mengedepankan tehnologi mutlak diperlukan untuk dapat memberikan perlindungan udara yang maksimal dari kemungkinan ancaman serangan udara musuh. Belajar dari uraian tentang Singapura dan Amerika serta Eropa, perlu kita pahami diperlukan modernisasi angkatan perang seperti yang dilakukan oleh Singapura agar mampu menangkal setiap kemungkinan ancaman juga mungkin ingin menjadi superior di kawasan dan juga apa yang dilakukan oleh Amerika untuk tidak terlalu menonjolkan tehnologi sampai perlu “habis-habisan” mengeluarkan biaya besar untuk me-research tehnologi militer guna ditingkatkan secara terus menerus, karena akan membebani angaran negara.
Tentunya sebagai negara yang masih tergolong sebagai negara berkembang, Indonesia perlu menyadari keterbatasan anggaran, disisi lain pengembangan pembangunan daerah yang tidak terkoordinasi dengan baik antar instasi pemerintah baik dipusat maupun daerah sangat merugikan aspek penyiapan daerah bagi kegiatan pertahanan negara, maka dari itu perlu disikapi oleh Angkatan Darat dan seluruh jajarannya termasuk secara spesifik Pussenarhanud Kodiklat TNI AD untuk mengembangkan terus upaya modernisasi namun juga memperhatikan aspek-aspek tehnis tentang angaran dan kesiapan wilayah dalam penyiapan ruang bagi gelar daerah pertahanan udara yang semakin sempit dan tidak memungkinkan lagi untuk menampung system pertahanan udara yang berukuran besar serta komplek. Pertimbangan tehnis lain diantaranya coverage yang ideal untuk peninjauan sasaran udara sudah sulit didapatkan oleh satuan Arhanud, mengingat banyaknya bangunan-bangunan tinggi yang berada disekitar daerah pertahanan udara, sehingga tidak memberikan kualitas Dahanud yang baik.
Dari beberapa data sederhana yang disampaikan diatas tentu dapat ditentukan harapan seperti apa yang diinginkan dalam penyediaan Alut Sista Arhanud dihadapkan pada pekembangan perang generasi ke empat yang akan dihadapi Indonesia pada trend saat ini.
SPESIFIKASI UMUM ALUT SISTA ARHANUD YANG DIINGINKAN
Uraian tulisan di atas dan harapan yang ingin dipenuhi serta berbagai keterbatasan yang dimiliki Indonesia menjadi tolok ukur dalam penentuan spesifikasi umum Alut Sista yang ingin dipenuhi melalui tulisan ini. Sehingga dapat memberikan masukan untuk memikirkan ulang tentang kebijakan pengembangan persenjataan. Pada kunjungan kerja Danpussenarhanud Kodiklat TNI AD ke Yonarhanudri-3 pada Triwulan ketiga TA. 2010, telah disampaikan beberapa kesulitan gelar satuan Arhanud untuk memberikan perlindungan pada obyek vital yang diprioritaskan di Kodam III/Slw karena terbatasnya daerah gelar yang ada dihadapkan pada jenis Alut Sista meriam sekelas meriam 40 mm / L-70. Diyakini juga hal yang sama juga dialami sebaian besar satuan Arhanud TNI AD karena Alut Sista yang dimiliki juga berada pada kelas yang sama ataupun diatasnya.
Bila ditinjau dari kesiapan wilayah dalam kurun waktu sekarang maupun kedepan serta keberadaan obyek vital nasional maupun daerah yang relatif tetap dan berada ditengah kepadatan pembangunan fisik daerah, maupun obyek rawan berupa satuan manuver yang bergerak pada daerah yang memiliki kontur medan yang bervariasi dan sulit, maka diperlukan Alut Sista Arhanud yang simpel, portable serta ringan, memiliki daya jangkau yang relatif jauh dan tidak lagi ada pembedaan antara ukuran satuan Arhanud ringan maupun sedang atau berat (bila ada). Namun lebih diutamakan penyebutan satuan Arhanud “saja” tanpa embel-embel ringan atau sedang. Tujuan dari generalisasi penyebutan satuan Arhanud tersebut adalah untuk memberikan ruang yang lebih luas pada penggunaan satuan Arhanud disetiap Kotama yang memiliki ataupun untuk dioperasionalkan diluar Kotama organiknya, mengingat Alut Sista yang dimiliki memiliki fleksibiltas tinggi dalam penggunaannya. Mengingat memiliki ukuran yang relatih kecil, simpel dalam penyiapan sampai dengan siap operasi, portable mudah dibongkar pasang dalam waktu yang relatif singkat, ringan sehinga tidak memerlukan daerah khusus yang luas serta karena dapat dioperasionalkan pada daerah yang sulit dilalui oleh kendaraan, karena dapat dipanggul oleh manusia serta dapat memanfaatkan bangunan-bangunan tinggi sebagai daerah gelar yang dapat memberikan coverage yang maksimal. Namun Alut Sista seperti ini haruslah tetap didukung sistem Radar yang baik agar dapat beroperasi secara mandiri, bila terdapat gangguan pada penyediaan berita sasaran oleh Kosek Kohanudnas.
Tinjauan lain dari segi organisasi tentu akan lebih baik, bila diasumsikan organisasi satuan Arhanud masih seperti sekarang yang anggotanya berkisar pada jumlah 500 an orang maka prajurit tersebut yang semula hanya dapat mengawaki beberapa pucuk meriam/Rudal, karena setiap pucuk yang berukuran relatif besar memerlukan awak yang banyak, dapat diperluas menjadi dua kali lipat jumlah senjata nya karena Alut Sista yang dipilih hanya memerlukan sedikit personel untuk mengawaki. Organisasi satuan Arhanud akan lebih baik dalam memberikan perlindungan udara karena secara taktis akan memberikan kedalaman yang lebih baik bila dioperasionalkan dalam satu titik rawan, atau dapat pula memaksimalkan jumlah titik rawan yang perlu dilindungi, serta organisasi satuan Arhanud menjadi lebih mobil, mengingat uraian sebelumnya bahwa terminologi dari 4GW hampir identik dengan kecepatan bergerak tanpa adanya garis linier yang membatasi. Performa satuan Arhanud akan menjadi lebih baik bila ditinjau dari kemampuan lintas meda yang tinggi dan dapat dioperasionalkan pada semua bentuk medan baik yang terbuka maupun yang terhalang oleh bangunan tinggi serta mampu mengimbangi gerakan satuan manuver dan bersifat mandiri dalam pengoperasiannya.
Pemikiran tentang pembelian Alut Sista yang berukuran besar hanya akan menyulitkan pengoperasionalan satuan Arhanud mengingat peralatan/Alut Sista tersebut akan sarat tehnologi sehingga memiliki cost yang tinggi pula, kemudian penggunaannya yang sementara ini oleh negara lain cukup efektif karena terdapat perbedaan pola pembangunan serta perbedaan posisi obyek vital yang dilindungi, serta memiliki cukup ruang untuk menggelarnya, sementara di Indonesia hal tersebut tidak tersedia. Analisa lain bahwa pengoperasionalan Alut Sista berukuran besar tentunya memerlukan waktu penyiapan yang lebih banyak serta dukungan sarana/prasarana lain yang juga banyak, maka kesiapan untuk menghadapi perang generasi keempat menjadi tidak terdukung. Pengalaman negara yang berada di kawasan maupun Eropa dan Amerika dalam memodernisasi angkatan perangnya dengan tetap memperhatikan aspek biaya rendah serta manuveribility yang tinggi dapat dijadikan acuan bagi pimpinan Arhanud dalam menentukan kebijakan pengadaan Alut Sista bagi satuan Arhanud.
Manpads atau Man portable air defence system adalah merupakan Alut Sista yang memenuhi kriteria yang diuraikan di atas, banyak Negara di dunia menggunakan sistem senjata tersebut, walaupun terdapat pula Negara yang menempatkan sistem senjata tersebut dalam organisasi infanteri karena berbagai pertimbangan, namun dengan kondisi yang ada di Indonesia maka hal tersebut dapat diakomodir sebagai senjata Arhanud. Namun bila satuan Arhanud tidak memperhatikan aspek-aspek yang diuraikan di atas, maka tidak menutup kemungkinan pula satuan Infanteri TNI AD akan lebih dulu menggunakannya, mengingat perlindungan udara yang diberikan pada satuan infanteri dianggap tidak maksimal, karena tidak dapat mengikuti mobilitas satuan infanteri itu sendiri, hal tersebut juga tidak dapat dibatasi mengingat tidak ada aturan yang mengatur tentang sistem senjata Manpads hanya boleh digunakan oleh satuan Arhanud atau dapat digunakan oleh satuan lain pula. Sementara kebutuhan perlindungan udara yang optimal tidak dapat dipenuhi oleh satuan Arhanud maka satuan infanteri akan melakukannya secara mandiri dengan memanfaatkan Alut Sista Manpads tersebut. Tentunya hal tersebut akan merugikan satuan Arhanud, karena kehadirannya tidak lagi dibutuhkan leh satuan lain mengingat satuan lain mampu melaksanakan fungsi anti serangan udara secara mandiri tanpa melibatkan peran serta satuan Arhanud.
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya adalah diperlukan modernisasi angkatan perang guna menghadapi era perang generasi keempat, namun modernisasi angkatan perang perlu memperhatikan kemampuan anggaran negara yang cukup terbatas. Bagi satuan Arhanud sendiri tidak hanya anggaran yang menjadi kendala, tetapi kondisi geografis, pengaturan tata ruang wilayah oleh Pemerintah daerah tidak dapat menunjang optimalisasi perlindungan udara yang menjadi tugas pokok satuan Arhanud. Dengan kondisi tersebut maka disarankan pengadaan Alut Sista satuan Arhanud secara umum haruslah memiliki kriteria umum diantaranya ringan, portable, memiliki flesibilias tinggi, mandiri, mobile, serta dapat dioperasionalkan dalam segala bentuk medan dan tidak merugikan satuan baik dari segi organisasi maupun taktis dan tehnis. Hal tersebut dapat diakomodir pada Alut Sista yang berbentuk Manpads. Saran berikutnya adalah menghilangkan katagori satuan Arhanud ringan maupun sedang, bila satuan Arhanud telah didukung oleh system senjata yang manpads tersebut, sehingga penggunaannya akan lebih fleksibel oleh tiap Kotama.
Demikian tulisan ini dibuat, semoga bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberikan sumbang saran dalam penentuan kebijakan oleh Pussenarhanud Kodiklat TNI AD.
Bandung, 25 september 2010
Penulis: Letkol Arh Hari Arif Wibowo
Danyonarhanudri-3 Dam III/Slw
Minggu, 05 September 2010
BERKACA
SAAT INI BANYAK SEKALI KITA LIHAT DAN KITA DENGAR, BAHWA KITA MEMPERKARAKAN CALON TERSANGKA KORUPSI, MENYALAHKAN KEPALA DAERAH BAHKAN KEPALA NEGARA, MEMPERMASALAHKAN HUBUNGAN DENGAN NEGERI JIRAN, PEMBANGUNAN KANTOR DPRD YANG KATANYA BUKAN BENTUK MENGIKUTI KEBUTUHAN, TETAPI KANTOR UNTUK MEMANJAKAN KEBUTUHAN PERORANGAN, SEMUA ITU SAYA KIRA TIDAK MENYELESAIKAN MASALAH, KARENA MERUBAH KARAKTER MANUSIA INDONESIA ATAUPUN MANUSIA MANAPUN TIDAKLAH SEMUDAH MEMBALIKKAN TELAPAK TANGAN, BAHKAN MUNGKIN KITA SEBAGAI AGEN PENGKRITIKPUN SEBENARNYA BERADA DIDALAM LINGKARAN SETAN ITU, JADI HAL URGENT YANG PERLU KITA LAKUKAN ADALAH MERUBAH KARAKTER DIRI SENDIRI YANG BAIK MENURUT ATURAN AGAMA MAUPUN KAEDAH KHALAYAK UMUM, KEMUDIAN KITA MENGAJARKAN KEPADA ANAK KITA UNTUK MENJADI ORANG YANG LEBIH BAIK DARI KITA DENGAN MENGIKUTI AJARAN AGAMA, ATURAN NEGARA SERTA BUDI PEKERTI, MAKA SESUNGGUHNYA KITA TELAH MEMULAI MASA DEPAN YANG LEBIH BAIK UNTUK DIPETIK ANAK CUCU KITA, MULAILAH DARI DIRI SENDIRI!
Senin, 31 Mei 2010
Bunda tolong mandikan aku sekali saja, please…?!
Dewi adalah sahabat saya , ia adalah seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not to be thebest ?,” begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.Ketika Kampus, mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional diUniversiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya.Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang ‘’selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, “Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya ?”Dengan sigap Dewi menjawab, “Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna. Everything is OK !, Don’t worry everything is under control kok !”, begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas, mandiri dan mudah mengerti.Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar PhD, dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah.“Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda”. Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya dirumah apa bila ia merasa kesepian.Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ”memahami” orangtuanya.Dengan Bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri.Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Dewi pada saya, Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku.Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orangtuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya, “Bunda aku ingin mandi sama bunda…, please…, please…, bunda”, pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya.Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku ! Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja…?”, kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian.Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, “Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di Ruang Emergency. Dewi, ketika diberi tahu soal Bayu, sedang meresmikan kantor barunya di Medan.Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang… terlambat sudah… Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya. Terlihat Dewi mengalami shock berat.Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata “Ini Bunda Nak…, Hari ini Bunda mandikan Bayu ya… sayang…! Akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak…Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil. Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, “Inikan sudah takdir, ya kan…! Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan ?.Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain.Sementara di sebelah kanannya, Suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, “Inilah konsekuensi sebuah pilihan ! lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa di duga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris.“Bayu, maafkan Bunda ya sayaang…!!, Ampuni bundamu ya nak…?” serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.Sepanjang persahabatan kami, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini.Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris, “Bangunlah Bayu sayaaangku…. Bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak…..?!?, pintanyaberulang-ulang, “Bunda mau mandikan kamu sayang…. Tolong beri kesempatan Bunda sekali saja Nak… Sekali ini saja, Bayu… anakku…?” Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat manusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini… tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting dari pada hanya sekedar memandikan seorang anak.Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua para orang tua yang sering merasa hebat dan penting dengan segala kesibukannya.
Minggu, 30 Mei 2010
Puisi BJ Habibie utk almarhum istrinya
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan,
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.selamat jalan sayang,cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
selamat jalan,calon bidadari surgaku ....
BJ.HABIBIE
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan,
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.selamat jalan sayang,cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
selamat jalan,calon bidadari surgaku ....
BJ.HABIBIE
Langganan:
Postingan (Atom)